Pada tahun 2012, Tallinn, ibu kota Estonia, membuat gebrakan. Jalanan mereka dipenuhi mobil, dan pemerintah bertanya ke warganya, “Mau transportasi publik gratis?” Mayoritas menjawab “Jah” alias “iya.” Setahun kemudian, mereka meluncurkan sistem transportasi publik gratis untuk semua warga. Tapi, apa ini berhasil mengurangi kemacetan? Jawabannya nggak sesederhana itu.
Awalnya, bus dan trem memang jadi lebih ramai. Tapi ironisnya, persentase orang yang menggunakan transportasi publik dibandingkan moda lain malah turun. Dari yang awalnya 42%, kini hanya 30%. Sementara itu, penggunaan mobil pribadi malah naik 5%. Jadi, apa yang bikin orang enggan meninggalkan mobil mereka meskipun transportasi publik gratis?
Mobil Lebih dari Sekadar Alat Transportasi
Menurut seorang ilmuwan perilaku, mobil punya daya tarik emosional yang kuat. Mobil bukan cuma alat transportasi; ia simbol kebebasan, status sosial, dan kenyamanan. Bayangkan aja, naik mobil artinya bebas macet, nyaman, dan orang lain bisa lihat mobil kerenmu. Sementara itu, naik bus? Nggak ada glamor. Malah sering kepanasan atau terlambat.
Tapi, meski menyenangkan untuk pengemudi, mobil membawa dampak buruk buat orang lain. Polusi udara, kecelakaan, dan emisi karbon dari mobil menyumbang sekitar 10% emisi global. Jadi, pemerintah di berbagai negara mencoba mengalihkan perhatian warganya ke transportasi publik, salah satunya dengan membuatnya gratis.
Gratis Itu Belum Cukup
Selain Tallinn, negara seperti Luksemburg, Malta, dan beberapa kota di AS juga mencoba hal serupa. Hasilnya? Sama aja. Orang yang udah biasa naik transportasi publik makin sering memakainya, tapi hanya sedikit yang rela meninggalkan mobil. Kenapa? Karena transportasi publik gratis bukan satu-satunya solusi. Sistemnya juga harus nyaman, aman, dan terintegrasi.
Jakarta, misalnya. Kota dengan populasi hampir 11 juta ini sedang berinvestasi besar-besaran dalam transportasi publik. Ada MikroTrans, bus gratis yang mengantar warga ke stasiun TransJakarta. Dengan tarif hanya Rp3.500, warga bisa menikmati bus ber-AC yang nyaman dan bahkan punya area khusus untuk perempuan. TransJakarta sekarang memiliki jaringan BRT (Bus Rapid Transit) terbesar di dunia dengan lebih dari 250 km jalur khusus.
Tantangan Jakarta dan Kota Lain
Meski sudah ada kemajuan, tantangan tetap besar. Penggunaan transportasi publik di Jakarta baru sekitar 10%. Sementara itu, jumlah mobil dan motor terus bertambah. Pemerintah mencoba berbagai cara untuk mendorong warga beralih, termasuk meningkatkan konektivitas dan fasilitas pejalan kaki. Tapi masih banyak yang harus dilakukan. Misalnya, membuat transportasi publik lebih cepat, nyaman, dan andal dibandingkan kendaraan pribadi.
Solusi Jangka Panjang: Dorongan dan Paksaan
Untuk benar-benar mengurangi jumlah mobil di jalan, pendekatannya nggak bisa setengah-setengah. Beberapa kota seperti London mengenakan biaya masuk zona tertentu bagi mobil. Paris menyingkirkan banyak tempat parkir dan menaikkan biaya parkir untuk mobil besar. Ide dasarnya sederhana: buat mengemudi jadi mahal dan nggak nyaman, sambil memastikan transportasi publik jadi pilihan yang lebih menarik.
Setiap kota punya kondisi dan tantangan yang berbeda. Tapi tujuannya sama: mengurangi kemacetan, polusi udara, dan emisi karbon. Dari transportasi gratis hingga peningkatan sistem, setiap langkah kecil berarti. Jadi, apa kamu siap meninggalkan mobilmu untuk naik bus atau kereta? Karena pilihanmu bisa mengubah masa depan kota kita.