Kalau ngomongin soal kerjaan yang kelihatan fleksibel dan langsung bisa dapet duit, ojek online pasti masuk daftar teratas. Tapi, kenyataan di balik jaket hijau dan aplikasi di ponsel itu nggak sesederhana yang dibayangkan banyak orang.
Bayangkan, setiap hari para driver ini harus menghadapi persaingan yang makin gila. Di satu titik kota, ratusan motor bisa nunggu orderan dalam waktu yang sama. Bukan cuma rebutan pelanggan, tapi juga berpacu dengan algoritma aplikasi yang misterius. Nggak peduli performa bagus atau saldo aman, kadang yang dapat order justru yang baru nongol. Bikin bingung dan frustrasi.
Masalah nggak berhenti di situ. Ada yang kerja 12 jam sehari tapi penghasilan bersihnya cuma cukup buat makan dan isi bensin. Beban operasional ditanggung sendiri. Pendapatan yang kelihatan besar itu nyatanya belum tentu cukup setelah dikalkulasi.
Mirisnya lagi, semua risiko juga ditanggung pribadi. Nggak ada jaminan sosial. Kalau sakit atau kecelakaan, ya harus tanggung sendiri. Bahkan banyak yang belum sadar pentingnya perlindungan jangka panjang karena fokusnya cuma bisa dapat uang cepat hari ini.
Sistem kerja kayak gini bikin banyak driver hidup dari hari ke hari tanpa kepastian. Hari ini bisa ramai, besok bisa sepi total. Dan kalau udah begini, mana sempat mikirin nabung atau masa depan?
Tragisnya, kondisi ini terjadi di tengah narasi besar soal kerja digital yang katanya memudahkan hidup. Faktanya, sistem malah mendorong pekerja untuk terus bergerak tanpa henti.
Jalan keluar dari tekanan ekonomi? Bisa jadi. Tapi bukan berarti tanpa bayaran yang mahal. Mulai dari tenaga, waktu, sampai kesehatan jadi taruhan tiap hari. Kalau motor rusak atau badan tumbang, semua bisa runtuh dalam semalam. Belum lagi kalau ada kejadian mendadak kayak tilang atau mogok di tengah jalan, dompet langsung terkuras.
Label “mitra” yang disematkan ke driver seakan memberi kebebasan, padahal justru itu yang bikin mereka nggak punya hak sebagai pekerja. Platform bisa ubah aturan kapan saja, bonus dihapus, insentif diturunin, dan semua harus diterima begitu aja.
Yang lebih bikin sedih, negara pun belum sepenuhnya hadir untuk mengatur ekosistem ini secara adil. Perusahaan bisa untung besar, tapi pekerja di lapangan malah harus jungkir balik buat sekadar bertahan.
Jadi, meskipun kerjaan ojol kelihatan gampang dan instan, kenyataannya sangat kompleks. Sistem ini bikin banyak orang terjebak di lingkaran kerja keras tanpa kepastian. Sekali motor rusak, HP mati, atau tubuh nggak kuat lagi, semua perjuangan bisa berhenti seketika.
Buat yang masih mengira jadi driver ojol itu solusi jangka panjang, mungkin perlu lihat lagi dari sisi mereka yang benar-benar hidup dari pekerjaan ini. Karena stabilitas ekonomi itu bukan cuma soal ada duit hari ini, tapi soal kepastian bahwa minggu depan pun masih bisa bertahan.