Libur Panjang, Negara Ketiduran, Rakyat Kena Imbas

Politik14 Views

Jadi begini. Waktu rakyat lagi seru-serunya menikmati libur lebaran, pemerintah ternyata ikut leha-leha. Padahal seharusnya di saat rakyat rehat, negara justru harus siaga jaga stabilitas. Yang terjadi malah sebaliknya, negara juga ikut cuti panjang, dan tahu-tahu… Amerika Serikat ngeluarin kebijakan dagang yang bikin ekspor barang dari Indonesia kena tarif tambahan 32%.

Yang lebih menyakitkan, Indonesia masuk daftar bareng 160 negara lain yang juga kena tarif. Katanya sih karena Indonesia duluan yang mengenakan tarif tinggi ke barang-barang dari AS. Tapi yang jadi sorotan, reaksi dari pemerintah kita telat banget. Keburu libur panjang, para pejabatnya mungkin masih sibuk makan ketupat sama opor.

Mungkin banyak yang mikir, “Gue kan bukan eksportir, jadi aman.” Tapi ini bukan soal siapa ekspor dan siapa nggak. Ini soal efek berantai. Gara-gara barang ekspor Indonesia jadi mahal, pemasukan dolar makin kecil. Beras, gandum, tempe, bahkan susu pabrik pun bahan bakunya impor. Jadi kalau harga-harga dari luar naik, kita ikut ketarik naik juga.

Bayangin deh, negara-negara pengekspor barang ke Indonesia juga kena tarif dari AS. Mereka bakal naikin harga jualnya ke kita buat nutup kerugian. Inflasi pun susah dibendung.

Buat para pengusaha, terutama yang ekspor, mereka sekarang harus muter otak. Karena tarif tinggi bikin produk Indonesia kalah saing di luar negeri. Ada wacana subsidi dari pemerintah sih, tapi itu kalau pemerintah punya cukup dolar buat bantu. Kalau nggak, ya sudah—harga jadi mahal, barang nggak laku, dan perusahaan terpaksa potong biaya. Biaya terbesar? Gaji karyawan. PHK pun jadi pilihan pahit.

Sementara rakyat biasa? Kenaikan harga bikin daya beli turun. Pabrik sepi order, PHK makin sering, dan demonstrasi nuntut kenaikan gaji pasti makin ramai. Bahkan sekarang udah ada pabrik yang tutup kayak kasus di Cirebon.

Pengeluaran malah makin besar. Contohnya gaji staf khusus yang angkanya jauh dari UMR. Kalau pendapatan nggak sebanding sama pengeluaran, program-program negara bisa terganggu. Termasuk wacana makan siang gratis yang dibanggakan itu.

Lebih parah lagi, Indonesia sering telat antisipasi. Dampak dari tarif tambahan ini bisa baru kerasa 4–6 bulan ke depan. Mungkin sekarang masih santai, tapi akhir tahun bisa jadi beda cerita. Kalau enggak segera ditangani, bukan nggak mungkin dolar bisa tembus Rp20 ribu. Dan seperti biasa, rakyat kecil jadi korban paling awal. Cicilan rumah dan mobil macet, properti dijual murah, banyak yang babak belur secara finansial.

Kabar baiknya, katanya Pak Prabowo udah mulai lobi-lobi ke negara tetangga buat tarik investor. Rencana buat permudah birokrasi juga lagi digodok. Harapannya sih, investasi bisa masuk lebih lancar, lapangan kerja terbuka, pendapatan negara naik, baru deh program sosial bisa jalan lagi.

Tapi jangan lupa, selain birokrasi, pungli juga jadi masalah besar. Jadi pertanyaannya sekarang: bisa enggak pemerintah kita belajar dari kelalaian kemarin dan benar-benar siap hadapi krisis? Karena kalau enggak, bisa-bisa akhir tahun nanti kita semua cuma bisa geleng-geleng sambil lihat harga dolar melesat tanpa bisa dikendalikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *